Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) masih menjumpai adanya praktik pelanggaran terhadap kebebasan akademik. Sepanjang 2022, KIKA bahkan melakukan pendampingan terhadap 43 kasus pelanggaran kebebasan akademik.
Dewan Pengarah KIKA, Riwanto Tirtosudharmo, mengatakan, angka kasus yang didampingi tersebut mengalami kenaikan. Pada tahun sebelumnya, KIKA melakukan pendampingan atas 29 kasus pelanggaran kebebasan akademik.
"Berdasarkan kasus tersebut, dosen, mahasiswa, hingga kelompok masyarakat sipil menjadi korban pelanggaran kebebasan akademik," kata Riwanto dalam keterangan resmi, Jumat (10/2).
Riwanto menuturkan, persoalan pelanggaran akademik yang dijumpai selama ini, antara lain, meliputi faktor pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) dan angka pengangguran tinggi. Ia menilai, hal tersebut juga berkaitan dengan komersialisasi pendidikan dan pola industrialisasi perguruan tinggi.
"Dampak liberalisasi pendidikan menciptakan perguruan tinggi mengalami penundukan pada kuasa politik dan pasar," ujarnya.
Diungkapkan Riwanto, setidaknya terdapat 11 jenis pelanggaran kebebasan akademik yang dipotret KIKA. Misalnya, serangan digital terhadap akademisi yang mengkritik akademik; tekanan dan terror terhadap aksi mahasiswa; kesaksian ahli dosen dipidana; dan dugaan korupsi di perguruan tinggi yang menjadi ancaman.
Kemudian, pelanggaran kebebasan akademik juga ditandai dengan protes isu UKT dan ancaman bagi mahasiswa, antara lain pada aksi diam di Universitas Hasanuddin (Unhas), tagar #UniversitasGagalMerakyat di Universitas Gadjah Mada (UGM), serta pembahasan terkait UKT di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang sempat menjadi topik populer di Twitter.
Lalu, praktik transaksi gelap dan jual beli pengaruh dalam penulisan jurnal internasional scopus untuk isu jurnal; legitimasi kebenaran pemerintah dan penundukan ilmu, salah satunya menyerang peneliti asing pada kasus KLHK; serta upaya penundukan akademisi untuk melegitimasi berbagai proyek strategis nasional dan konflik agararia (PSN di Wadas, Kinipan, dan Pakel).
Berikutnya, pelanggaran kebebasan akademik juga ditandai dengan peleburan lembaga riset di BRIN; situasi kampus yang feodal dan kegagalan membentuk serikat dosen; dan tidak terselesainya pelanggaran kekerasan seksual di perguruan tinggi.
"Teror ke akademisi dan masyarakat sipil terus menerus terjadi tanpa ada upaya maju perlindungannya di level negara maupun institusi perguruan tinggi. Hal ini meningkat dalam setahun terakhir," papar Riwanto.
Riwanto memandang, kasus-kasus kebebasan akademik yang terjadi sepanjang 2022 sebenarnya merupakan pengulangan dari peristiwa-peristiwa serangan yang terus-menerus sejak 2015.
Oleh karenanya, KIKA mendorong kembali penguatan prinsip kebebasan akademik sebagaimana tertuang dalam Surabaya Principles on Academic Freedom.
"Khususnya prinsip 2, 3, dan, 4 terkait kebebasan penuh mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan kaidah keilmuan; mendiskusikan mata kuliah, dan mempertimbangkan kompetensi keilmuan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan; serta larangan terhadap pendisiplinan bagi insan akademisi yang berintegritas," tutur Riwanto.
Riwanto menilai, agenda perlindungan dan pemajuan kebebasan akademik pada 2023 akan menjadi berat apabila otoritas kampus yang berkelindan dengan kepentingan oligarki semakin menguat.
Upaya tersebut juga dapat diperberat jika negara tetap melanggengkan produk hukum, seperti UU ITE, Perppu Cipta Kerja, hingga UU KUHP, yang dinilai memberi kewenangan kepada kekuasaan untuk menundukkan sains dan keilmuan serta membungkam suara akademisi di ruang demokrasi.
"Seharusnya ruang demokrasi masyarakat sipil dan kebebasan akademik semakin melembaga dengan mengutamakan kepada otonomi perguruan tinggi, termasuk melindungi segenap insan akademik dari upaya represi, pendisiplinan, dan pembatasan," ujar Riwanto.